Rabu, 18 April 2012

TULISAN - HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Pendahuluan
Berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Bahkan di balik semua itu, berakar pada kekuatan sosial budaya yang berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan politik. Namun demikian, hukum Islam telah menga1ami perkembangan secara berkesinambungan. baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dengan dukungan kekuatan sosial budaya itu.

Cara pandang dan interpretasi yang berbeda dalam keanekaragaman pemahaman orang Islam terhadap hakikat hukum Islam telah berimplikasi dalam sudut aplikasinya.
M. Atho Mudzhar misalnya menjelaskan cara pandang yang berbeda dalam bidang pemikiran hukum Islam menurutnya dibagi menjadi empat jenis, yakni kitab-kitab fiqh, keputusan-keputusan Pengadilan agama, peraturan Perundang-undangan di negeri-negeri muslim dan fatwa-fatwa ulama.

Keempat faktor tersebut diyakini memberi pengaruh cukup besar dalam proses transformasi hukum Islam di Indonesia. Terlebih lagi hukum Islam sesungguhnya telah berlaku sejak kedatangan pertama Islam di Indonesia, di mana stigma hukum yang beriaku dikategorikan menjadi hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat. Sedangkan hukum Islam dilihat dari dua segi. Pertama, hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal, artinya telab dikodifikasikan dalam struktur hukuin nasionaI. Kedua, hukum Islam yang berlaku secara normatif yakni hukum Islam yang diyakini memiliki sanksi atau padanan hukum bagi masyarakat muslim untuk meiaksanakannya. Atas dasar itu, tulisan ini akan mengkaji hukum Islam di Indonesia dalam perspektif pemikiran, tradisi, politik hukum dan produk hukum.

Pemikiran Politik Hukum Islam di Indonesia

Ismail Sunny, mengilustrasikan politik hukum sebagai suatu proses penerimaan hukum Islam digambarkan kedudukannva menjadi dua periode yakni pertama, periode persuasive source di mana setiap orang Islam diyakini mau menerima keberlakuan hukum Islam itu; dan kedua, periode authority source di mana setiap orang Islam menyakini bahwa hukum Islam memiliki kekuatan yang haruss dilaksanakan. Dengan kata lain, hukum Islam dapat berlaku secara yuridis formal apabila dikodifikasikan dalam perundangundangan nasional.

Untuk mengembangkan proses transformasi hukum Islam ke dalam supremasi hukum nasional, diperlukan partisipasi semua pihak dan lembaga terkait, seperti halnya hubungan hukum Islam dengan badan kekuasaan negara yang mengacu kepada kebijakan politik hukum yang ditetapkan (adatrechts politiek). Politik hukum tersebut merupakan produk interaksi kalangan elite politik yang berbasis kepada berbagai kelompok sosial budaya. Ketika elite politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi politik itu, maka peluang bagi pengembangan hukum Islam untuk ditransformasikan semakin besar.

Politik hukum masa Orde Baru seperti termaktub dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) yaitu Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sejak 1973, 1978, 1983, 1988 dan 1993. Kurun waktu 1973- 1988 pengembangan hukum nasional diarahkan bagi kodifikasi dan unifikasi hukum sesuai kepentingan masyarakat. Bentuk hukum tertulis tertentu dikodifikasikan dan diunifikasikan, terutama hukum yang bersifat ‚netral‛ yang berfungsi bagi rekayasa sosial. Demikian halnya bagi orang Islam, unifikasi hukum Islam memperoleh pengakuan dalam sistem hukum nasional.
Transformasi hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan (Takhrij al-Ahkâm fî al-Nash al-Qânun) merupakan produk interaksi antar elite politik Islam (para ulama, tokoh ormas, pejabat agama dan cendekiawan muslim) dengan elite kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi dan pejabat negara. Sebagai contoh, diundangkannya UU Perkawinan No.1/1974 peranan elite Islam cukup dominan di dalam melakukan pendekatan dengan kalangan elite di tingkat legislatif, sehingga RUU Perkawinan No.1/1974 dapat dikodifikasikan.

Adapun prosedur pengambilan keputusan politik di tingkat legislatif dan eksekutif dalam hal legislasi hukum Islam (legal drafting) hendaknva mengacu kepada politik hukum yang dianut oleh badan kekuasaan negara secara kolektif. Suatu undang-undang dapat ditetapkan sebagai peraturan tertulis yang dikodifikasikan apabila telah melalui proses politik pada badan kekuasaan negara yaitu legislatif dan eksekutif, serta memenuhi persyaratan dan rancangan perundang-undangan yang layak.

Pendekatan konsepsinal prosedur legislasi hukum Islam sebagaimana dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi adalah bahwa pemerintah dan DPR memegang kekuasaan di dalam pembentukan undang-undang. Disebutkan dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945 bahwa ‚Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.‛ Sedangkan dalam penjelasan mengenai pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa ‚kecuali executive power, Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan legislatif power dalam negara.

Berdasarkan pandangan tersebut, maka DPR hendaknya memberi persetujuan kepada tiap-tiap Rancangan Undang-undang yang diajukan oleh Pemerintah. Hal ini senada dengan penjelasan pasal 20 ayat (1) UUD 1945, kendati DPR tidak harus selalu meyatakan setuju terhadap semua rancangan Undang-undang dari pemerintah. Keberadaan DPR sesungguhnya harus memberikan suatu consent atau kesepakatan dalam arti menerima atau menolak rancangan undang-undang.


NARASUMBER :

http://badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20HUKUM%20ISLAM/HUKUM%20ISLAM%20DI%20INDONESIA.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar